Senin, 19 September 2022

Published September 19, 2022 by

Memahami makna Pendidikan Inklusif

Pada rapat yang baru lalu, Mrs Lisa Luhur (Pembina Yayasan Sukma) menegaskan bahwa Sekolah Sukma hendaknya lebih membuka akses pendidikan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus. Pernyataan itu sebenarnya sangat beralasan apabila dikaji paling tidak dari; pertama, Samanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education UNESCO menegaskan dua hal, yaitu anak berkebutuhan khusus harus mempunyai akses pendidikan di sekolah reguler inklusif yang hendaknya menjadi wahana untuk memerangi sikap diskriminatif, terbuka dan membangun masyarakat inklusif untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua    (UNESCO, 1994). 

    Kedua, anak-anak berkebutuhan khusus tidak mudah mengakses pendidikan melalui sekolah-sekolah reguler. Menurut Global Action on Disability (GLAS) diperkirakan separuh dari 65 juta anak berkebutuhan khusus dalam usia sekolah dasar dan menengah di negara-negara berkembang ‘sudah tidak bersekolah’ sebelum Covid-19 (Slee, Tait, 2022). 

    Ada tiga alasan kenapa anak-anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengakses sekolah reguler. Pertama, ada pihak mempertanyakan mengapa mereka bersekolah di sekolah reguler. Eksklusi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dari sekolah reguler menjadi sah dan diterima kalau menggunakan argumen bahwa mereka potensial memberi efek negatif terhadap mayoritas anak (Allen, 2008). Kedua, dengan rumus anak sama dengan anak berkebutuhan khusus dapat diterima dalam sekolahsekolah reguler kalau sumber tambahan disiapkan (Allen, 2008). Ketiga, eksklusi merupakan tradisi invensi modern dari persekolahan yang acapkali menjadi ruang ketidakadilan (Slee, Tait, 2022).

    Lantas bagaimana misi pendidikan inklusif diwujudkan? Melalui tulisan ini, pembaca diajak untuk menelaah ide dan pewujudan pendidik inklusif.

Pendidikan inklusif

Kata inklusif berasal dari kata include (Inggris) berarti ‘menjadi bagian dari sesuatu, menyatu dalam kesatuan’. Lawan katanya adalah exclude berarti ‘mencegah, mengusir’ (Villa; Thousand, 2005). Dari sudut falsafi, inklusi adalah pemahaman yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam konteks pendidikan, inklusi merujuk kepada keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap warga yang mempunyai latar belakang berbeda. Kata inklusi mengandung unsur pokok, seperti sikap positif atau inklusif terhadap anak-anak yang memiliki kelainan, rasa efikasi tinggi terhadap pembelajaran, serta kemauan dan kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan ‘kelainan’ individu (Loreman; Earle; Chris, 2007).

    Pendidikan inklusif menunjuk kepada akses pendidikan secara adil bagi seluruh anak bangsa yang mempunyai perbedaan atau keragaman latar belakang (Adamowaycs, 2008) alias tidak menolak kelompok yang berkebutuhan khusus mengakses pendidikan bermutu (Spandagou, Little, Evans, Bonati, 2020). Sasaran pendidikan inklusif adalah menyingkirkan hambatan-hambatan yang mengakibatkan anak-anak perempuan, perempuan, kelompok tidak beruntung, anak-anak berkebutuhan khusus, dan anak-anak yang tidak terjangkau melalui sistem pendidikan formal dan nonformal sulit mengakses pendidikan (Sandkull, 2005; UNESCO, 2005; Slee, Tait, 2022).

    Pendidikan inklusif dipahami sebagai proses penanaman sikap toleran di kalangan siswa agar mereka siap menghadapi perbedaan dalam kehidupan seperti pendapat, pandangan, kepercayaan dan budaya, etnik dan ideologi. Kesadaran kritis terhadap isu-isu keadilan ditumbuhkan melalui refleksi (Landorf; Rocco; Nevin, 2006).Dari penjelasan di atas, manifestasi pendidikan inklusif dapat dilihat dari dua hal utama yaitu, pertama, akses pendidikan bermutu bagi seluruh anak bangsa sejalan dengan keragaman (normal dan berkelainan). Kedua, penanaman sikap inklusif di kalangan anak bangsa dalam kerangka mewujudkan masyarakat demokratis. 


Pendidikan bermutu bagi anak-anak berkebutuhan khusus

    DALAM pembicaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus di Indonesia, kitamengenal dual sistem, yaitu memisahkan anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus dalam persekolahan. Anak-anak berkebutuhan khusus mendapat layanan pendidikan khusus melalui sekolah luar biasa. Sedangkan anak-anak normal mendapat layanan pendidikan melalui sekolah reguler. Dengan sistem ini interaksi kedua kelompok anak tidak terjadi. Model seperti ini telah menimbulkan segregasi dan alienasi anak-anak Berkebutuhan khusus dalam kehidupan. 

    Dalam paradigma baru, sekolah inklusif dimanifestasikan melalui pendekatan integrasi, yakni kedua kelompok anak bangsa memperoleh pendidikan dalam sekolah atau kelas yang sama, sekolah reguler. Mereka mempunyai akses belajar yang sama dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan akademik dan sosial dalam sekolah/kelas yang sama (Porter, 2007; Allen, 2008). Pelaksanaan konsep integrasi memerlukan beberapa syarat, yaitu model pengajaran berbeda sehingga anak dapat belajar, kurikulum dan pengajaran fleksibel sesuai dengan prinsip perbedaan, didukung guru berpengetahuan luas dan praktisi spesialis, partisipasi orang tua, bantuan teknis dari guru, dan penanganan kelainan perilaku secara kreatif (Adamowycs, 2008). 

    Selanjutnya, keberhasilan pelaksanaan sekolah inklusif dipengaruhi beberapa faktor. Pemahaman, sikap dan perilaku terhadap sekolah inklusif dan sikap inklusif dari guru-guru serta kebijakan sekolah/kelas inklusif merupakan faktor berpengaruh sebagaimana diungkapkan Mahat (2008) dan Mdika et all (2007). Selanjutnya, pelatihan tentang pendidikan inklusif dan peningkatan kemampuan profesional guru yang ajeg diperoleh guru-guru juga merupakan faktor penentu (Mahat, 2008). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan guru dalam menciptakan lingkungan inklusif dan diikuti dengan pengembangan sikap dan sentimen kuat menjamin kelangsungan kelas inklusif merupakan faktor berpengaruh berikutnya (Loreman et all, 2007). Akhirnya sikap inklusif pimpinan sekolah merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan terhadap keberhasilan penerapan dan kelangsungan kelas inklusif (Sperandio; Klerks, 2007).

Penyemaian sikap inklusif

    Pendidikan inklusif tidak dapat dipisahkan dari proses demokratisasi masyarakat. Pada era reformasi dan pascareformasi demokrasi menjadi salah satu isu utama. Upaya-upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan perlakuan adil di depan hukum, mengembangkan sikap toleran/inklusif, menghargai perbedaan dan harkat martabat seseorang telah dimulai untuk mewujudkan masyarakat dan negara demokratis. Meski demikian, Indonesia baru berada pada tahap awal


Kejadian-kejadian belakang ini 

yang menyeret isu agama ke 

dalam politik mengisyaratkan 

masyarakat kita belum mampu 

menyelesaikan perbedaan 

dengan cara-cara elegan dan tidak 

menggunakan kekerasan


    Masa transisi menuju demokrasi (Fachruddin, 2006). Indonesia masih harus bekerja keras untuk mewujudkan demokrasi substantif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kejadian-kejadian belakang ini yang menyeret isu agama ke dalam politik mengisyaratkan masyarakat kita belum mampu menyelesaikan perbedaan dengan cara-cara elegan dan tidak menggunakan kekerasan. Akhirnya, pendidikan mempunyai peran penting dalam menanamkan nilai-nilai atau perilaku demokratis seperti menerima keragaman dalam masyarakat dan inklusif. Sekolah atau kelas demokratis dicerminkan dengan sikap dan perilaku guru yang demokratis, seperti sayang, antikekerasan dan anti diskriminasi. Kesediaan guru membantu murid yang sangat lamban mengikuti pembelajaran merupakan contoh komitmen guru terhadap diskriminasi dan inklusi. 

Walallahhu ‘alam

Read More

Minggu, 04 September 2022

Published September 04, 2022 by

Kurikulum ini itu dan Penilaian

 Fuad Fachrudin

Zubir Direktur Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe

PENILAIAN adalah salah satu bentuk evaluasi proses pembelajaran. Ada yang dilaksanakan secara harian, tengah semester, dan akhir semester. Penilaian dilakukan untuk melihat seberapa siswa memahami materi yang sudah diajarkan. Hasil akhir belajar itu biasanya dalam bentuk rapor. Mencakup kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap, dan kompetensi keterampilan.

 

Dinamika penilaian Tak salah jika kita kembali merefleksi bagaimana dinamika sekolah dalam memberikan nilai rapor yang tak hanya sebatas angka-angka. Angka-angka itu merepresentasi proses panjang yang mengerahkan segala daya upaya dan melibatkan para pihak. Dalam memberikan nilai rapor, guru memperhitungkan banyak hal sebagai pertimbangan, dan biasanya pertimbangan nonteknis pembelajaran. Pertama, memberikan nilai kasih sayang kepada siswa karena sikapnya dianggap sopan di kelas. Padahal dalam kurikulum telah jelas dipisahkan antara penilaian pengetahuan dan penilaian sikap. Kedua, takut diprotes orangtua. Kondisi ini lumayan banyak terjadi di kalangan orangtua yang tidak siap menerima nilai rendah anaknya. Pernah ada orangtua komplain nilai mata pelajaran agama Islam rendah karena—menurutnya--anaknya pintar mengaji. Ada juga yang ingin memasukkan anaknya ke fakultas kedokteran, tidak akan diterima jika nilai matematika dan bahasa Inggrisnya rendah, juga banyak lagi cerita lain. Ketiga, ini sepertinya sudah terjadi secara sistemik di lingkungan pendidikan kita, sudah berada di fase sangat mengkhawatirkan. Guru merencanakan nilai anak sejak awal supaya nanti bisa masuk ke universitas melalui jalur undangan. Guru memberikan nilai rendah dianggap telah menghancurkan masa depan anak. Dalam praktik lain, ada pola menabung nilai di setiap semester. Misalnya di semester 1 siswa mendapat (diberikan) nilai 90, maka yang dipasang di rapor ialah 85. Sisanya disimpan untuk semester depan supaya grafik nilai siswa menaik, dan ini akan dianggap bagus oleh universitas. Ini bukanlah semata-mata atas inisiatif guru mata pelajaran, tapi sudah tersistem dari sekolah. Keempat, guru pemalas. Saya berdiskusi dengan banyak guru di banyak sekolah. Mereka bercerita tentang kondisi sekolah masingmasing. Ada hak-hak siswa dalam proses pembelajaran tidak dipenuhi guru, seperti hak siswa untuk remedial, yaitu siswa secara pengetahuan belum memenuhi tujuan pembelajaran. Akan tetapi, karena gurunya malas, biasanya akan diberikan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau bahkan nilai bagus. Harusnya guru melakukan proses remedial, proses peendampingan untuk perbaikan.

 

Generasi stroberi Nilai rapor yang tidak merepresentasi kemampuan siswa yang sebenarnya, pada dasarnya inilah cara sekolah melahirkan generasi stroberi. Istilah ini muncul untuk menggambarkan generasi Taiwan yang lahir di 1980-an, masa pascaperang. Mereka tidak mau anaknya susah seperti mereka ketika masa perang, dan memanjakannya dengan segala fasilitas yang mewah (nytimes.com). Kini kondisi seperti itu menimpa lingkungan pendidikan kita. Setidaknya empat alasan guru memberikan nilai dalam rapor di atas adalah bentuk upaya kita dalam memanjakan mereka, memberikan kemewahan, membenarkan untuk mereka berlehaleha. Jadinya, mereka tidak punya ‘kesempatan’ untuk menempa diri dalam hal kemandirian, daya tahan, daya juang, serta karakter bertahan di segala tantangan. Mereka menjadi manja, lembek, seperti sifat stroberi yang lunak, mudah koyak ketika terbentur. Saat dihadapkan pada tantangan, anak akan rapuh dan mudah menyerah. Ini akan membuat k i t a s e m a k i n j a u h dari makna manusia berkualitas menurut UU No 20 Tahun 2003, yaitu manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam konteks sekolah, etos kerja dan mentalitas menjadi sangat penting ketika seorang anak berada dalam lingkungan masyarakat, atau ketika berada di bangku perkuliahan. Pendidikan tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Seperti apa ia ditempa, seperti itulah kepribadiannya di masyarakat. Kita mewarisi generasi emas palsu, yang nantinya akan bertindak sebagai pengambil kebijakan (palsu) dan pemecah masalah (palsu) di masyarakat, seperti nilai (palsu) yang ia terima ketika di bangku sekolah.

 

Mari berbenah Untuk mengatasi hal tersebut, kita harus segera berbenah. Menurut saya, harus ada kolaborasi yang seimbang antara guru (sekolah), orangtua, dan pemerintah. Saya menempatkan guru (sekolah) di posisi garda terdepan dan pertama dalam upaya mengubah ini semua. Menurut saya, ada idealisme yang hilang dari guru kita hari ini jika kita kembali menilik fungsi guru di sekolah, yakni memberikan pertolongan-pertolongan kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik itu kompetensi pengetahuan, sikap, maupun keterampilan. Pertolongan-pertolongan inilah yang kini kian sulit diperoleh, seakan semakin mahal. Ada selentingan dari guru mengenai anakanak sekarang yang sudah hilang rasa hormat kepada gurunya. Namun, ada pertanyaan satire, bagaimana siswa bisa menghormati gurunya, sedangkan ia tidak pernah dididik untuk disiplin, jujur, bekerja keras? Guru malah mendidiknya dengan ‘tidak mendidik.’ Pesan karakter apa yang ingin kita sampaikan kepada siswa jika tanpa hadir ke sekolah ia bisa naik kelas; tidak paham materi bisa mendapatkan nilai bagus. Bagaimana ia bisa menghormati gurunya jika gurunya tidak mendidik apa-apa, jika tidak mau disebut mendidik kemalasan? Di barisan kedua adalah orangtua. Orangtua harus memahami proses dan mendampingi setiap proses itu dengan kesabaran. Banyak orangtua berambisi meraih prestise dengan mendorong anaknya harus juara lomba, harus jago matematika. Jika itu terjadi, anak dianggap berprestasi. Sekolah dianggap berhasil. Tanpa disadari, hal seperti itu sebenarnya telah menempatkan mereka dalam sebuah jebakan. Barisan paling fundamental ketiga ialah pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek. Sejak Kurikulum Merdeka diluncurkan, sudah banyak produk pendidikan dihasilkan. Semua produk itu muaranya pada kompetensi lulusan. Kurikulum terus berganti, program peningkatan guru dengan segala macam nomenklatur, sekolah dengan berbagai label, dan kesejahteraan guru terus ditingkatkan dengan macam-macam insentif, tidak akan berdampak apa pun jika proses penilaian di kelas telah jauh dari hakikat penilaian itu sendiri. Kurikulum berganti menjadi ini dan itu, tapi cara mengajar dan menilainya tidak berubah. Mari duduk sejenak, merefleksi apa yang saat ini sedang kita siapkan sebagai warisan untuk anak cucu kita.

 

Guru Menyibak Refleksi

Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma

DALAM artikel Calak Edu di Media Indonesia (25/7) berjudul Penyiapan Guru Abad 21, saya menyebutkan bahwa pendidikan guru abad 21 adalah memberi berbagai kemampuan yang diperlukan dalam pendidikan era ini, antara lain kemampun reflektif. Refleksi berasal dari bahasa Latin, refectere, yang secara harfiah berarti ‘menengok ke belakang’ (Jay, 2004: 11). Makna refleksi beragam, bergantung pada sudut pandang yang digunakan seseorang. Refleksi mencakup beberapa pengertian ‘melihat ke belakang untuk maju ke depan’, ‘belajar dari kesalahan’, ‘urgensi melakukan perbaikan terhadap apa yang dilakukan’, ‘memikirkan dan menggali informasi, imaji, dan lainnya’ (Harris, Bruster, Peterson, Shutt, 2010: 2).

 

Makna refleksi Dari kata-kata yang terselimut dalam refleksi, kita dapat menarik dua makna besaran, yaitu berpikir secara dalam dan becermin/berkaca dari yang kita lakukan (Bassot, 2016: 1). Pertama, refleksi memikirkan apa yang seseorang lakukan secara mendalam. Refleksi mencakup proses kontemplasi dengan sikap terbuka terhadap perubahan, bersedia atau berkemauan belajar dan bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Refleksi menyuguhkan tantangan (Jay, 2003: 1). Refleksi merupakan kajian sistematik untuk memperbaiki dan menggali pemahaman kita secara dalam tentang apa yang dilakukan. Sistematik berarti menggunakan teori untuk memperkuat pemahaman kita tentang apa yang dilakukan. Dengan kata lain, refleksi adalah sarana penting untuk menerapkan teori dalam praktik profesional (Bassot, 2016: 2). Kedua, refleksi adalah becermin ke pengalaman yang memberi informasi tentang apa yang dilakukan, membuat kita belajar dari apa yang terjadi ketika kita melakukan kegiatan dan mempelajari serta membuat keputusan yang terkini dan cerdas tentang apa yang dilakukan, kapan, dan mengapa hal tersebut dilakukan (Jay, 2003: 14). Ketika penulis membicarakan refleksi dalam pendidikan, seperti guru reflektif, pembelajaran reflektif, dan sejenisnya, mereka selalu merujuk kepada karya John Dewey pada 1930-an dan Donald A Schon (1983; 1987). Padahal kegiatan yang mencerminkan refleksi telah ada dalam kehidupan manusia. Praktik refleksi termasuk kegiatan keagamaan seperti mindfulness, ‘meditasi’, ‘sembahyang’ (Ewing, Waugh, Smith, 2022: 4) telah tersisih dari kehidupan. Padahal praktik refleksi tersebut mengandung makna dan pengertian lebih dalam. Langkanya karya-karya tulis dan pengenalan karya-karya lama membuat ide refleksi dalam perspektif Barat menjadi menonjol. Tulisan dalam perspektif Barat lebih menekankan ‘berpikir,’ sementara beberapa bentuk refleksi dalam tradisi dunia Timur (Ewing, Waugh, Smith, 2022: 5) seperti mengosongkan pemikiran membawa seseorang kepada pemahaman yang jauh lebih mendalam dan bukan proses aktif berpikir semata.

 

Refleksi bagi guru Berkaitan dengan peran refleksi untuk guru, Dewey (1933) menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan belajar murid ialah meningkatkan kuantitas dan kualitas belajar secara real (Dewey, 1933; 33). Salah satu tanda dari jenis belajar yang dimaksud ialah kemampuan reflektif terhadap gambaran utama tentang pertumbuhan dan pengembangan profesi belajar (Darling-Hammond & Sykes, 1999). Refleksi mencerminkan cara guru menumbuhkan dan belajar dari praktik dan pengalaman yang tengah berlangsung dan sangat sesuai dengan dunia kelas yang berubah secara konstan. Refleksi membantu guru mengembangkan kemampuan dan orientasi guru dalam membuat keputusan yang terbarukan dan cerdas tentang apa yang dilakukan, kapan melakukan, dan mengapa harus dilakukan. Refleksi merupakan bagian kritis dari mengajar dan belajar guru secara efektif (Jay, 2004: 3). Refleksi merupakan jantung dari mengajar bermutu (Jay 2003: 2). Dengan merefleksi, kita menjadi lebih terampil dalam mengajar, mampu dan menjadi guru yang lebih baik (Zeichner, Liston, 2014: 10). Mengajar adalah panggilan hati. Mengajar berkaitan dengan siswa dan membangun dunia yang lebih baik (Barth, 2001; Intrator, 2002). Mengajar berhubungan dengan manusia, kontribusi dan harapan, serta berkaitan dengan hati. Oleh sebab itu, fondasi refleksi hendaknya muncul dari komitmen emosi guru dan refleksi muncul dari hati (Jay, 2003: 138). Praktik refleksi bagi guru adalah untuk memperkuat keputusan profesional, memberikan sarana untuk belajar dan mengembangkan kemampuan profesional, juga meningkatkan atau mempromosikan kemandirian dan integritas guru/pengajar (perguruan tinggi) serta sarana memperbaiki mengajar dan meningkatkan mutu pendidikan (Ashwin et all., 2016: 8). Penerapan refleksi mendorong guru melakukan review terhadap pengalaman belajar untuk melakukan perbaikan. Refleksi kritis membawa kita untuk terlibat secara emosional dan siap mempertanyakan asumsi yang kita buat tentang orang dan situasi. Oleh karena itu, mengenali isu kekuasaan dalam relasi profesi dan organisasi bahkan dalam pekerjaaan kita menjadi penting (Bassot, 2016: xii). Pengembangan praktik refleksi merupakan komponen penting dari pengembangan kemampuan profesional untuk mempersiapkan guru menghadapi tantangan dan kompleksitas kelas pada abad 21, menjadi pembuat keputusan yang efektif dengan landasan pemikiran bagaimana menerjemahkan ilmu pedagogi dalam kelas. Kemampuan mempertanyakan ‘mengapa guru mengajar?’ hendaknya dihubungkan dengan pengembangan pengetahuan, konteks, seni, dan nalar reflektif. Dengan demikian, penerapan refleksi berhubungan dengan otonomi, pemberdayaan, dan pengajaran yang bermutu (Zwozdiak-Myers, 2012: xii). Refleksi menjadi fokus dalam meningkatkan standar pendidikan dan memaksimalisasi potensi belajar anak-anak didik kita. Mutu guru menjadi variabel utama yang memengaruhi hasil belajar siswa (OECD, 2005: 2) dan karakteristik guru dalam jenjang karier hendaknya dibangun berdasarkan konsep mengajar sebagai praksis, yaitu teori, praktik, dan kemampuan refleksi kritis terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya dan orang lain dapat memberi masukan yang berharga (ETUCE, 2008: 26). Hal ini memerlukan guru yang dapat menentukan relevansi pengetahuan baru, fleksibel, kreatif dan adaptif terhadap perubahan, sikap keingintahuan dan kemampuan mempertanyakan secara cerdas dunia tempat mereka tinggal dan bekerja (Zwozdiak-Myers, 2012: xi).

 

Tantangan refleksi Kehidupan keseharian sekolah tidak mempromosi refleksi. Ritme dan struktur sekolah kini, pelaksanaan reformasi, dan waktu yang terbatas telah memengaruhi pelaksanaan refleksi. Para pendekar refleksi dihadapkan pada tantangan; bagaimana mendorong kegiatan reflektif dalam situasi yang tidak mendukung. Ada beberapa faktor, yaitu sekolah dibangun berdasarkan ‘model pabrik’, birokratis, mengontrol waktu dan kegiatan, model instruksi dari atas ke-bawah dalam pembuatan keputusan administratif, menguatkan struktur kekuasaan dan isu politik yang memengaruhi kehidupan sekolah, termasuk komunikasi yang tidak efektif, beban kerja yang berlebihan, isolasi dan perasaan yang tidak berdaya di kalangan guru. Walaahu‘alam.


Sumber : MEDIA INDONESIA

 

 

Read More

Senin, 13 Juni 2022

Published Juni 13, 2022 by

Pedagogi Memaafkan

 

Pedagogi Memaafkan

Fuad Fachruddin

Founder Gerutas Indonesia

 

SELAMA ini, ‘memaafkan’ cenderung dijadikan kajian pengetahuan agama. Padahal, kajian pengetahuan nonagama, ‘memaafkan’ ditemukan dalam filsafat dan psikologi dan baru pada dekade 1980. Ia menjadi kajian ilmiah di dunia Barat, yaitu ketika komunitas terapeutik memublikasikan buku Forgive and Forget: Healing the Hurts We Don’t Deserve, ditulis Lewis Smedes (1984), yang mengorbitkan ide tentang manfaat ‘memaafkan’ terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan seseorang (Worthington Jr, 2005: 1; Webb, 2021: 59)

Mengapa minta maaf dan memaafkan penting?

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar, yaitu pertama, salah dan lupa adalah bagian dari kehidupan manusia yang bisa menimpa siapa saja. Kedua, dalam diri manusia terdapat tiga hal yaitu akal,hati, dan nafsu. Ketika emosi negatif mengontrol diri seseorang, sikap dan tindakannya akan berjalan ke arah negatif yang pada gilirannya dapat memberi pengaruh dalam interaksi (Zakiyyah, 2017: 29), yaitu aniaya terhadap inidividu atau masyarakat dalam bentuk korupsi, misalnya (Khomenei, 2018).Ketiga, dalam ajaran Islam terdapat dua jenis kezaliman, yaitu kezaliman terhadap alKhalik dan kezaliman sesama makhluk. Keduanya dilarang dan seseorang yang zalim akan mendapat hukuman di akhirat. Pelaku zalim akan mendapatkan hukuman dari dua sisi, yaitu pihak yang menjadi korban kezaliman dan al-Khalik. Selain itu, dalam ajaran Islam, pelaku zalim tidak akan mendapat ampunan Allah sampai orang yang dizalimi memberi maaf kepadanya (lihat Zakiyyah, 2017: 29). Keempat, kehidupan dunia sebentar dan kita tidak tahu kapan ajal kita tiba. Kematian tidak dapat dihindarkan ketika saatnya datang.

Perspektif Islam

Maaf dan memaafkan ialah sikap/perbuatan baik dan merupakan ciri seorang yang bertakwa (Ali Imraan: 134). Iffah atau afwu (maaf/memaafkan) adalah sikap atau kemampuan seseorang memaafkan siapa saja yang telah berbuat jahat dengan ucapan atau perbuatan, tetapi tidak berarti membiarkan kezaliman merajalela. Al-afwu atau i’ffah ialah hal yang substantif dari kemampuan mengendaikan nafsu atau marah atau lebih maju dari kemampuan mengendalikan nafsu (tafsir Almaraghy, As-Sa’adi) atau hasil dari kemampuan mengendalikan nafsu. Dengan i’ffah, seseorang membuang jauh kesalahan pelaku kejahatan dengan memberi maaf kepadanya.Bersikap seperti ini berarti seseorang telah menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji dan mengosongkan dirinya dari akhlak tercela seperti dendam. Memaafkan seorang hamba Allah merupakan rahmat dan kebaikan (ihsan); mencegah orang dari kejahatan. I’ffah dapat mengangkat derajat dan membangun kemuliaan seseorang. Allah akan memaafkannya dan memberi imbalan berupa pahala (tafsir As-Sa’adi). Seorang pemaaf tidak dendam, tidak m e m a n d a n g dirinya sebagai orang yang meminta perlakuan istimewa, suka berkarya dengan tidak mengharap perhatian orang lain atau publisitas.

 

Perspektif filsafat dan psikologi

Pembahasan isu ‘memaafkan’ ditemukan dalam filsafat dan psikologi. Memaafkan merupakan kebajikan moral yang secara esensial merupakan lubuk hati. Seorang yang telah memberi maaf berarti ia telah mengatasi sikap atau perilaku jahat dan mengatasi perilaku jahat dengan tujuan dan motif kredibel menurut moral (Murphy, 2003: 13). Menurut Worthington Jr (2005: 4) ‘memaafkan’ berarti mengubah pola fikir, motivasi,tindak dan perasaan yang negatif ke (menjadi) pola fikir, motivasi, tindak dan perasaan yang lebih positif dengan menciptakan kedamaian terhadap mereka yang telah menzalimi kita.Memaafkan ialah suatu proses relasi di mana perilaku jahat diakui oleh dua belah pihak (pelaku zalim dan yang dizalimi). Pihak yang dizalimi menyalurkan kasih sayang yang tak berbanding terha[1]dap pelaku aniaya; satu atau kedua pihak mengalami suatu transformasi dari keadaan psikologis yang negatif ke keadaan psikologis positif dan makna relasi dinegosiasikan yang memungkinkan rekonsialiasi (Waldron; Kelly, 2008: 5; Konstan, 2010: 4; Warmke, Nelkin; McKenna, 2021: 14).

 

Riset tentang memaafkan

Peneliti Barat seperti Worthington Jr (2005:7) meneliti manfaat memaafkan dari empat aspek, yaitu kesehatan fisik, relasi dan kesehatan mental (spiritual), serta kesejahtraan. Waldron & Kelly (2008) meneliti manfaat ‘memaafkan’ dari konteks relasi dan kesejahteraan seseorang. Dalam konteks relasi, memaafkan dapat; pertama, memperbaiki relasi yakni meningkatkan peluang meraih hasil relasi yang positif. Kedua, merestorasi kedamaian dalam keluarga, jaringan persahabatan dan tim kerja, serta kesejahteraan individu. Ketiga, menjadi ekspresi sayang terhadap orang yang menzalimi, “Saya memaafkan dia karena saya sangat sayang kepadanya.” Atau “Demi persahabatan, saya memberi maaf kepada dia (pelaku zalim).”Memaafkan dilakukan karena pelaku zalim menunjukkan sikap damai. Mi[1]salnya, ia minta maaf, bertanggung jawab terhadap tindakannya, menunjukkan sikap menyesali terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh tindakannya. Secara hakiki, tujuan memaafkan dalam situasi tersebut menjadi keinginan untuk merespons tindakan damai. Sikap damai ditunjukkan dengan mau bekerja sama dalam menum[1]buhkan pengertian dan meninggalkan perbuatan zalim. Keempat, memaafkan sebagai sarana untuk membangun komitmen terhadap kerangka moral yang disepakati, yakni merestorasi keadilan dalam relasi (Waldron & Kelly, 2008: 131).Sikap memaafkan akan memengruhi kesehatan fisik seseorang. Sikap tidak memaafkan menjadi tekanan batin dan membuat orang merasa tidak bersahabat dengan pelaku zalim. Orang yang tidak mau memaafkan acapkali mengalami gangguan jantung atau sistem kekebalan. Orang-orang yang tidak mau memaafkan mengalami ketegangan, yakni sering marah-marah dan depresi. Menurut banyak riset, memaafkan memberi efek kesehatan mental dan kesehatan spiritual (Worthington Jr, 2005:8).Namun, Zakiyyah (2017: 35-36) mengingatkan bahwa memaafkan bisa menjadi potensi yang membahayakan lantaran situasi tertentu yang membuat seseorang berpurapura memaafkan. Misalnya, seseorang memaafkan lantaran kehidupannya terancam atau penyalahgunaan teknik penyembuhan emosi, yaitu korban harus memaafkan pelaku dengan cara menyuruh korban membuang jauh-jauh memori dan persepsinya tentang tindakan aniaya yang dialaminya. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran yang dalam (tulus) dari pelaku aniaya. Dia betul-betul mengakui bahwa apa yang dilakukan secara moral salah, diikuti dengan sikap dan tindakan menyingkirkan jauh-jauh perilaku zalim; tidak hanya di mulut dan sekadar untuk mendapatkan kompensasi, tetapi melakukan transformasi moral secara intens (tobat sejati) menuju perubahan diri ke depan. (Konstan, 2010; 9, 10) Walallahu ’alam.

Read More

Senin, 18 April 2022

Published April 18, 2022 by

Puasa dan Pendidikan Karakter

Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma 

HARI ini kaum muslimin sudah menjalani puasa lebih dari sepekan dalam keadaaan yang masih harus berjaga-jaga terhadap bahaya pandemi covid-19 meski tidak seperti yang dialami dalam dua Ramadan lalu. Bersyukur dan bersabar dalam menjalani kehidupan merupakan modal dasar untuk melahirkan dan mempertahankan daya tahan dalam kehidupan. Ada banyak iktibar yang dapat digali dan ditarik dari pelaksanaan ibadah puasa dalam konteks pendidikan. Namun, pada kesempatan ini pembahasan akan kita fokuskan pada dua hal, yaitu tujuan atau hasil akhir dan nilai utama dari ibadah puasa untuk membangun pribadi dan bangsa, kini dan ke depan.

 

Takwa dan mutakin 

Menjadi insan bertakwa (muttaqi) ialah hasil akhir yang hendak dicapai melalui puasa. Para ahli tafsir, seperti Abu Su’ud, Al-Baidhawi, Al-Khaazin, Assa’aadi, dan Arrazy, menyebutkan puasa ialah wasilah untuk mencapai ketakwaan, yaitu derajat tertinggi manusia. Takwa berasal dari asal kata Arab taqwa, dengan akar kata waqa yang secara harfiah berarti menjaga, melindungi, dan membersihkan diri. Takwa berarti melindungi diri dari kehancuran moral dan menjaga diri dari tindakan yang melanggar ketentuan Allah. Takut kepada Allah (ittaqallah bukan dalam pengertian takut akan sesuatu yang membahayakan atau menakutkan seperti binatang buas. Namun, ia merupakan kesadaran diri akan kehadiran Pencipta (Al-Khalik) dan komitmen untuk menjalankan ketentuan-Nya, yaitu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan ikhlas (Arrazi; Leaman, 2006: 643; Berjak, 2006: 324).

Mutaki ialah seseorang yang takut kepada Pencipta dalam pengertian saleh, yakni menjaga dirinya dari dosa dan yang membahayakan, dan menjadikan Al-Khalik sebagai pelindung (Berjak, 2006: 324), serta meyakini bahwa segala perbuatan seorang tidak akan lepas dari pantauan-Nya dan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat (Arraazi, 1981). Mutakin (muttaqin, jamak dari muttaqi) selalu berusaha menghilangkan hadirnya selain Allah dalam hati, sikap, berpikir dan bertindak atau bermuamalah. Oleh karenanya, takwa merupakan posisi tertinggi (Arrazi, 1981; Aththanthawy). Takwa menjadi satu-satunya parameter yang digunakan Islam untuk menilai derajat seseorang, bukan kekayaan, pangkat, nasab, etnik, dan sejenisnya sebagaimana tercantum dalam surah Al-Hujurat: 13 dan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, “Sesungguhnya Allah tidak melihat atau menilai rupamu, hartamu, dan jabatanmu, tetapi Allah akan menilai hati dan perbuatanmu.”

Akhlak mulia 

Puasa, menurut beberapa mufasir, merupakan proses pendidikan (tahdziib, tarbiyatur ruhaniayah) atau pembersihan jiwa, yakni membentuk diri menjadi seorang yang berakhlak terpuji, bersikap sabar dan mujahadah (usaha sungguh-sungguh), serta tangguh menghadapi kesulitan dalam kehidupan, juga menjauhkan diri dari sikap tercela seperti sombong, takabur, ria, serakah, khianat, dan zalim (Ibnu Katsir, Al-Humaad, Sayyid Thanthawi).

Nilai utama puasa ialah praktik (cermin) dari ketauhidan dan peran puasa ialah memperbaiki akhlak seseorang dalam relasi dengan Tuhan (hablum min Allah) dan hubungan dengan manusia keseluruhan (hablum min al-naas) termasuk dengan makhluk lain dan alam raya (Leaman, 2006: 530). Dalam relasi pertama, puasa melatih perilaku manusia untuk takut kepada Allah dalam pengertian komitmen menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Dengan kata lain, melalui puasa seseorang meyakini dan merasakan bahwa Khalik memantau seluruh apa yang dilakukan seseorang seperti puasa (Asaud, Alquthan). Keyakinan dan sikap semacam itu merupakan konsep pewujudan dari ihsan. Dengan keyakinan yang kuat bahwa Khalik memantau dan tidak ada yang dapat menghalangi-Nya.

Tauhid menjauhkan diri dari hadirnya selain Allah dalam diri atau hati seseorang secara ikhlas dan munculnya sikap as if he is God seperti takabur, adigung adiguna yang merupakan penyakit hati (lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surah Al-Kahfi, 18: 110). Keyakinan seperti ini memberikan efek terhadap sikap dan perilaku seseorang dalam hubungan antarindividu atau sesama makhluk, misalnya, ia tidak akan khianat terhadap orang lain, mengambil harta dengan tidak halal seperti korupsi, menyakiti orang lain atau merugikan orang lain karena semua terekam dan akan diminta pertanggungjawaban di akhirat (al-Maraaghy).

Dalam tataran relasi kedua, hablum min al-naas, nilai pokok yang ditanamkan melalui puasa, antara lain, sabar, syukur, kasih sayang (syafaqah), istikamah, ikhlas, kanaah, amanah, dan mengendali diri (temperance) dan berikut uraian dari beberapa nilai pokok. Pertama sabar. Menurut para mufasir, puasa ialah nishfush shabri atau perwujudan sabar. Islam mengajarkan umatnya berperilaku sabar, yaitu orang yang mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta tabah menghadapi musibah seperti sakit, paceklik, meninggal salah satu anggota keluarga, dan kesulitan hidup. Orang tersebut tahan banting dan tidak mengenal putus asa (istiqamah) dalam melakukan kebaikan dan mencegah keburukan (Ibnu Katsir) dan hanya mencari rida Allah (Al-Mawardi).

Kedua syukur. Melalui puasa rasa syukur ditanamkan. Syukur dapat diwujudkan dimensi akidah (keyakinan), ucapan dan amaliah (memanfaatkan nikmat). Dari sisi akidah, bersyukur berarti kita selalu memperkuat keyakinan bahwa kelebihan yang dimiliki seperti harta benda, kekuasaan atau jabatan dan lainnya merupakan anugerah Allah dan hanya titipan-Nya. Oleh karenanya, pemilik absolut kelebihan--seperti materi, kedudukan, atau ilmu--yang ada pada kita hanya Allah SWT. Rasa syukur melahirkan sikap dan perilaku amanah terhadap anugerah Allah dan sikap rendah hati. Oleh karenanya, tidak ada alasan dan kepantasan bagi mahkluk untuk berperilaku, bersikap dan bertindak sombong, pongah lantaran harta benda, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau pengalaman. Syukur juga melahirkan kesediaan berbagi dan membantu orang lain yang mengalami kesulitan sebagai pewujudan memberi manfaat kepada orang lain (masyarakat).

Ketiga ialah syafaqah (kasih sayang, human atau manusiawi). Syafaqah dan rahmah merupakan ciri orang bertakwa sebagaimana disebutkan dalam tafsir Al-Quthan tentang la'allakum tattaqun. Syafaqah dan rahmah merupakan kemampuan seseorang dalam hubungan antarpribadi atau setara dengan pengertian kecerdasan berganda, yaitu kemampuan memperlakukan orang lain dengan baik dan bersahabat, cinta kasih yang dicirikan dengan sikap dan perlakuan hangat dalam menghadapi orang lain; bersedia berbagi; pemurah, berbuat baik kepada orang lain, membantu orang lain dan penuh perhatian terhadap orang lain.

Demikianlah nilai-nilai utama puasa, semoga kita termasuk orang-orang yang berhasil menggapai tujuan akhir dari puasa. Walallahu ‘alam.

Read More

Kamis, 10 Februari 2022

Published Februari 10, 2022 by

penanaman sikap intolerant terhadap korupsi

 PENDIDIKAN antikorupsi (PAK) diyakini dapat membangun tanggung jawab moral yang selanjutnya menjadi pilar utama untuk memerangi korupsi. PAK untuk para siswa penting karena ia memberi mereka bekal menjadi paham tentang korupsi, kearifan, dan kemampuan menolak (intoleran) terhadap praktik korupsi serta komitmen menjauhkan diri darinya (Basabose, 2019).Meski demikian, kita menyadari bahwa penerapan sikap intoleran terhadap korupsi dalam kehidupan tidak bebas hambatan. Untuk itu, tulisan ini membahas PAK dan pendekatan belajar yang dapat dimanfaatkan untuk menanamkan sikap intoleran terhadap korupsi dalam pendidikan, juga tantangan yang akan dihadapi.   Pendidikan antikorupsi (PAK)Dalam literatur, disebutkan beragam tema berkaitan dengan PAK, yakni memerangi, memberantas korupsi melalui pendidikan atau pendidikan melawan korupsi, dan pendidikan antikorupsi. Kesemuanya mengandung pengertian yang sama, yakni upaya menumbuhkan, meningkatkan, atau mengembangkan sikap tidak kompromi terhadap segala jenis praktik korupsi. Sebenarnya, tanpa menyebutkan pendidikan antikorupsi, pendidikan mempunyai tugas utama, yaitu membangun karakter baik, termasuk sikap intoleran terhadap sikap dan tindakan korupsi.Dari dimensi pengetahuan, PAK memberikan pemahaman tentang tindak dan perilaku koruptif serta bahaya korupsi terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa. Selain tindak dan perilaku yang jelas-jelas koruptif, PAK juga memberi pemahaman tentang 'wilayah abu-abu' atau 'bendera merah' (Hallak & Poisson, 2007: 71), yaitu situasi atau kejadian menunjukkan isyarat yang mencurigakan seperti korupsi. Bendera merah dapat ditengarai dengan beberapa hal, misalnya, lemahnya sistem pencatatan, catatan selalu baik atau bersih atau tanpa ada komentar, informasi yang tidak betul, kesadaran akan hukum dan aturan sangat lemah di kalangan manajemen, kemampuan personel lemah, gaya hidup mewah di kalangan manajemen, staf menolak mengambil cuti, banyak transaksi yang aneh, audit internal dan eksternal lemah.PAK membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan, terutama berkaitan dengan teknik-teknik investigasi dan analisis terhadap kegiatan-kegiatan koruptif di tataran mana korupsi terjadi, termasuk transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, PAK memberi pemahaman dan penanaman sikap serta tindakan yang berkaitan dengan moral, seperti kejujuran, keadilan, hak, tanggung jawab, diskriminasi, dan implikasi buruk dari korupsi terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. PAK menanamkan sikap menolak terlibat dalam praktik korupsi dan memerangi tindak korupsi di masyarakat. Dalam konteks ini, PAK ialah menumbuhkan kesadaran dan gerakan praksis kepada para individu--peserta didik dan atau anggota masyarakat--untuk tidak menoleransi tindakan korupsi dalam bentuk apa pun.  Pendekatan PAKPenumbuhan kesadaran intoleran terhadap korupsi pendidikan dapat dilakukan dengan pelbagai pendekatan dan/atau konsep belajar yang menyentuh nurani, mengubah cara pandang, sikap, dan perilaku serta kesadaran terhadap tindakan zalim dalam kehidupan. Misalnya, guru menggunakan konsep pedagogical tact (Manen, 1991) untuk membangun kesadaran seseorang dengan menyentuh hati atau nurani mereka sehingga ia tetap berkomitmen terhadap kejujuran dan amanah.Ia juga tidak tergoda dengan tindakan tidak jujur secara akademik, seperti menyontek atau menurunkan standar akademik untuk mengejar target atau rela menjadi penulis siluman karya ilmiah, seperti tesis atau disertasi, untuk seseorang yang memerlukan gelar akademis dengan imbalan materi atau lainnya, atau penguji meluluskan mahasiswa program master atau doktor yang secara akademik tidak layak, tapi tetap diluluskan karena kepentingan politik atau administratif atau lainnya (Fachruddin, MI, 27-12-2021).Dengan berpegang teguh pada nurani, guru/pengajar akan menolak setiap usaha yang memaksa mereka berlaku tidak jujur dan tidak amanah seperti disebut tadi. Sebaliknya, pengajar/pembimbing dapat memanfaatkan pendekatan belajar transformatif, misalnya, mengubah paradigma yang keliru (Mezirow: 1978, 1991, 1994 dan 1996) dari, misalnya, menuliskan tesis atau disertasi ke secara sukarela memberi tambahan waktu untuk bimbingan dan dampingan intensif kepada promovendus sehingga ia sukses meraih gelar akademik sesuai standar akademik dengan usaha maksimal, bermartabat, dan menjunjung tinggi integritas akademik (Andrade and Heritage: 2018).Juga, dengan memanfaatkan belajar transformatif, pengajar/guru menumbuhkan kesadaran akan ketimpangan yang muncul dalam lingkungan kehidupan kepada peserta didik dan dirinya sehingga muncul komitmen melakukan tindakan-tindakan praksis untuk memerangi praktik-praktik koruptif. Seperti, guru/pengajar mengajarkan kejujuran dengan menyentuh tindakan-tindakan tidak jujur yang muncul di lingkungan mereka dan akibatnya terhadap orang banyak. Misalnya, praktik penjualan 'bangku kelas' kepada mereka yang tidak lulus ujian masuk atau kasus lain yang disebutkan di muka. Melalui refleksi dan dialog, guru dan peserta didik menetapkan langkah-langkah praksis untuk membasmi segala bentuk dan jenis praktik korupsi, khususnya dalam pendidikan.Tindak koruptif juga menyangkut moralitas. Pendidikan antikorupsi menyangkut suatu yang esensial dan harus menjadi garapan pendidikan agama. Untuk itu, mari kita melihat kembali atau refleksi terhadap konsep dan pendekatan pembelajaran dalam pendidikan agama selama ini sehingga pendidikan agama lebih efektif memainkan perannya dalam menumbuhkan kesadaran religius dan kesalehan sosial secara kolektif, seperti sikap dan tindakan tidak toleran terhadap praktik-praktik koruptif.  Tantangan PAKKita menyadari bahwa penerapan PAK tidak bebas dari tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal mencakup berbagai hal, seperti keterbatasan waktu; sikap dan pandangan seseorang terhadap tindakan yang dilakukan; dan sikap diri dan sikap yang dibentuk oleh keadaan eksternal. Misal, siswa atau mahasiswa kelas karyawan mencontek lantaran waktu yang dimiliki untuk menyelesaikan tugas sangat terbatas; atau sikap pembenaran diri terhadap tindakan koruptif, seperti siswa/mahasiswa mencontek karena kegiatan ini dilakukan oleh kebanyakan siswa/mahasiswa (Davis et.al, 2009: 72); atau pandangan bahwa mencontek boleh-boleh saja asalkan 'tidak ketahuan' guru/pengawas. Juga, etos kerja dan moral rendah, tanggung jawab rendah dan suka menunda-nunda tugas atau kebiasaan menyelesaikan tugas pada tenggat terakhir membuat siswa/mahasiswa melakukan tindakan akademik tidak jujur, seperti mencontek, plagiasi (Davis et all, 2009: 80).Faktor eksternal yang mendukung ketidakjujuran akademik ialah (a) lingkungan yang permisif terhadap korupsi akademik; (b) sistem yang korup, yang mana orangtua, pengajar/guru, dan pengelola lembaga pendidikan tidak setuju dengan penerapan aturan atau tuntutan integritas akademik dalam situasi apa pun (Davis et.al, 2009: 61); (c) salah pemahaman ajaran agama. Misalnya, memberi jawaban kepada peserta didik dalam ujian sama dengan membantu orang yang mengalami kesulitan ialah pemahaman yang keliru alias konyol. Wallahualam. pendidikan Calak Edu antikorupsi Yayasan Sukma Bangsa


Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/469668/penanaman-sikap-intoleran-terhadap-korupsi
Read More

Rabu, 29 Desember 2021

Published Desember 29, 2021 by

Guru dan Peringatan Antikorupsi Sedunia

 MASYARAKAT dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2021. Peringatan kali ini mengusung isu the rights and responsibilities of everyone – in tackling corruption, yang berarti setiap individu mempunyai peran dan tanggung jawab mencegah dan melawan korupsi untuk meningkatkan daya tahan dan integritas masyarakat dalam pelbagai lapisan (https://www.unodc.org/unodc/en/anticorruptionday/index.html).

    Seruan ini tidak berlebihan kalau ditafsirkan dengan jihad dalam bahasa agama (Islam) terhadap pelbagai bentuk dan jenis korupsi karena; pertama, korupsi bukan fenomena baru, tapi telah hadir dalam kehidupan manusia ratusan tahun yang silam (Elis, 2018). Mungkin korupsi pada masa sekarang tidak sebanding dengan masa lalu—namun data untuk mendukung pendapat seperti ini sangat sulit diperoleh (Graycar, Prenzle, 2013). Kedua, korupsi secara virtual telah ada di negara-negara lintas planet dan merusak pembangunan ekonomi, politik dan sosial (Hallak, Poison, 2005; Warf 2018). Bahkan korupsi merasuk dan merusak seluruh sendi kehidupan manusia (Kubbe, Engelbert, 2018) termasuk moralitas, bagaikan sel-sel kanker yang ganas yang menggerogoti tubuh manusia (Dine, 2008).


Dalam dunia pendidikan, korupsi berdampak negatif terhadap mutu dan akses pendidikan yang terbuka bagi masyarakat. Lebih jauh dari itu, dampak lain yang lebih serius ialah runtuhnya nilai-nilai akhlak yang dibangun untuk tegaknya suatu bangsa. Menurut Transparency International (2013), upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi bukan sekadar persoalan keadilan, melainkan upaya melindungi kehidupan manusia dari kehancuran. Untuk itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi harus menjadi komitmen seluruh warga dunia untuk menciptakan kehidupan dunia yang baik dan adil serta memelihara kelangsungan planet. 

 Korupsi pendidikan

Korupsi dalam pendidikan mengandung dua isu besar, yaitu korupsi di ranah pendidikan dengan manifestasinya dan upaya penanaman sikap tidak toleran terhadap segala jenis dan bentuk korupsi. Pembahasan pada kesempatan ini akan difokuskan pada poin pertama, yakni korupsi dan manifestasinya dalam pendidikan

.Korupsi dalam pendidikan mengacu pada pengertian umum korupsi. Kata korupsi berasal dari kata Latin corruptio yang berarti moral rusak, perilaku jahat, dengki (Osipian, 2008; Brook, Walsh, Lewi, Kim, 2013). Padanan katanya adalah rumpere (memecah atau mengubah), dan corrumpere yang berarti hukum atau kode etik moral menjadi hancur (Warf, 2019).

Korupsi adalah penyalahgunaan amanah oleh mereka yang mempunyai kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Johnston, 2005). 

Korupsi adalah perilaku/tindakan melanggar hukum atau amanah yang diberikan publik untuk kepentingan pribadi (Tanaka, 2001; Johnston, 2005).Bentuk dan jenis korupsi berbeda menurut para ahli, misalnya Halak & Poisson (2007) dan Brook et.al (2013) mengemukakan lima bentuk yaitu penggelapan, suap, penipuan/ketidakjujuran, pemerasan dengan ancaman/kekerasan dan pilih kasih. Adapun Graycar & Prenzle (2013:3) membagi korupsi dalam 11 bentuk, dengan perincian empat bentuk seperti penulis sebelumnya. Lalu keduanya mengurai bentuk kelima, yaitu favoritisme dalam tiga bentuk, yakni patronasi, nepotisme, dan kronisme. Empat bentuk sisanya ialah penyalahgunaan kebijakan, menyuap, menggadaikan/menjajakan pengaruh.

Praktik korupsi dalam pendidikan merambah melalui dua ranah, yaitu akademik dan non-akademik. Melalui dua ranah tersebut, Heyneman (2004; 2007) mengurainya dalam empat sisi, yaitu (a) fungsi pendidikan, (b) perilaku tidak senonoh, (c) pengadaan barang dan jasa, dan (d) pajak dan kekayaan lembaga pendidikan. Dua sisi yang pertama (a dan b) berhubungan dengan ranah akademik, sedangkan (c) dan (d) berhubungan dengan ranah jasa. 

 Korupsi akademik

 Korupsi akademik adalah kegiatan-kegiatan yang dilarang berkaitan dengan proses akademik, misalnya proses seleksi, pendaftaran, penilaian, pemberian gelar akademik, menyontek, penjiplakan, tidak jujur dalam riset, memalsukan data, guru siluman, penulis siluman, dan lainnya (Osipian, 2009: 5). Menurut Heyneman (2004/2007), praktik-praktik koruptif dapat terjadi dalam pelaksanaan evaluasi prestasi belajar, seleksi siswa/mahasiswa untuk program pendidikan/pelatihan; nilai akreditasi sekolah/universitas dari badan akreditasi pemerintah. Korupsi diwujudkan dalam pemberian suap. Misalnya, siswa atau orangtua siswa memberi hadiah/uang kepada kepala sekolah agar guru memberi nilai baik kepada anak; kandidat doktor/master memberi hadiah/uang kepada komitenya sebelum menempuh ujian tesis/disertasi untuk mendapatkan nilai baik, dan sebagainya

.Dalam sertifikasi dapat ditemukan tindakan koruptif. Misalnya, membeli atau menduplikasi sertifikat untuk memenuhi portofolio, atau memberi suap agar dokumen yang diserahkan oleh seorang guru/pengajar dapat diterima/dinilai memenuhi syarat oleh petugas meski tidak memenuhi syarat. Praktik korupsi dapat dilihat dari perilaku tidak senonoh menurut etika profesional. Misalnya, pengajar menerima pemberian/hadiah dari muridnya sebagai tukar guling terhadap nilai baik yang diberikan kepada muridnya.

Pemberian nilai kelulusan didasarkan pada bias keluarga, etnik, budaya dan kelas sosial serta menurunkan standar yang ada. Pengajar mewajibkan siswanya mengikuti les dengan membayar apabila siswa ingin memperoleh nilai baik. Pemberian nilai baik dengan eksploitasi seksual merupakan salah satu wujud tindakan koruptif. Perlakuan diskriminasi terhadap siswa didasarkan pada kedekatan seorang kepada pengajar/pimpinan lembaga pendidikan, karena, misalnya, ia atau orangtuanya sering memberi sesuatu atau uang, punya hubungan kekeluargaan atau orangtua siswa pejabat. Praktik yang tidak senonoh lainnya 'guru siluman', yaitu guru/dosen mendapat SK tapi tidak menunaikan tugas. Juga penulis siluman, yaitu kaum profesional dan akademisi yang menulis karya ilmiah seperti tesis, disertasi, paper tugas semester untuk kliennya dengan imbalan uang atau keuntungan lainnya (Osipian, 2009).  

Korupsi non-akademik

Praktik korupsi dalam pendidikan mudah dikenali publik dalam pengadaan barang dan jasa, seperti pengadaan meja, kursi, buku, dan alat-alat peraga, komputer, laboratorium dan jasa seperti pelatihan atau penelitian. Korupsi diwujudkan dalam bentuk menggelembungkan harga, padahal penyuplai memberikan harga murah. Juga penggunaan sisa anggaran untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kepentingan kantor seperti jalan-jalan. Seorang pejabat pendidikan, misalnya, mewajibkan penggunaan buku teks lokal untuk seluruh sekolah di daerah yang menjadi kewenangannya karena ia memperoleh bagian keuntungan dari rekanan.

Praktik korupsi dapat ditengarai dari kekayaan dan pajak pendidikan. Dalam konteks ini, fasilitas pendidikan seperti tanah atau bangunan digunakan untuk kegiatan usaha yang memberi keuntungan, tetapi pengelolaannya, pertanggungjawabannya, juga pemanfaatan keuntungan tidak jelas, cenderung untuk pribadi. Juga apa yang disebut Osipian (2009) dengan kleptocracy, yakni pengajar mengumpulkan dana suap dan penggelapan. Hal-hal tadi sangat potensial untuk melahirkan tindakan ilegal. Walallahu a'lam. guru Hari Antikorupsi 

Calak Edu pendidikan


Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/460374/guru-dan-peringatan-antikorupsi-sedunia
Read More

Jumat, 08 Oktober 2021

Published Oktober 08, 2021 by

PEDAGOGI MEMAAFKAN

 

Sumber: Media Indonesia 21 Juni 2021



Read More